Ancaman Hukuman Mati Bagi Koruptor Dana Bencana Tsunami

Wadah Pegawai KPK mengusulkan ada tim supervisi yang bertugas mengawasi penggunaan dana penanganan bencana terkait musibah tsunami Selat Sunda yang menimpa sebagian kawasan Banten dan Lampung. Penyeleweng dana bencana bahkan diusulkan untuk dihukum dengan berat.
"Kami turut mengusulkan peringatan hukuman berat, bagi mereka yang terbukti menyelewengkan dana bencana," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dalam keterangan yang diterima kumparan, Rabu (26/12).
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo di Gedung KPK, Jakarta. (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
Menilik aturan yang berlaku, memang terdapat ketentuan penjatuhan pemberatan hukuman, bahkan hingga hukuman mati. Ancaman hukuman mati tersebut tercantum di dalam pasal 2 UU Tipikor yang bunyinya sebagai berikut:
Ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat 2
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia yang juga mantan komisioner KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa hukuman berat hingga pidana mati memang diberlakukan untuk pidana penyalahgunaan dana-dana yang berkaitan dengan penanggulangan krisis ekonomi moneter dan sosial yang berdampak luas. Ia menjelaskan biasanya hukuman ini diterapkan terhadap kasus bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas dan lain sebagainya.
"Kerusuhan sosial yang meluas, bahkan pengulangan tipikor yang bersifat recidive. Jadi wajar saja pemberatan pidana walaupun memang perlu juga pertimbangan adanya (berdasarkan) case," kata Indriyanto.
Ahli hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Terkait penerapannya, Fickar menyebut memang hukuman mati dianggap bertentangan dengan HAM sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945. Hal tersebutlah yang menurutnya menjadi penyebab belum ada koruptor yang dihukum mati. 
"Namun soal bertentangan dengan HAM ini juga terjadi perdebatan, yaitu tafsir hak hidup untuk tidak diberlakukan pencabutan nyawa sewenang-wenang, artinya jika kematian didasarkan pada hukuman yang secara resmi diputuskan oleh pengadilan atas dasar perbuatan yang dilakukan," ungkap dia.
"Tetapi yang pasti hukuman mati di Indonesia masih merupakan hukum positif/hukum yang berlaku di Indonesia yaitu UU Tipikor, tindak pidana pembunuhan berencana KUHP, UU Narkotika, UU Tenaga Atom, UU Terorisme, UU Pengadilan HAM dan sebagainya," tambahnya.
Pantauan udara dampak pasca tsunami di Kecamatan Sumur, Banten. (Foto: Resnu Andika/kumparan)
Tsunami melanda kawasan Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12). Berdasarkan data sementara BNPB, 429 orang meninggal dunia, 154 orang hilang, 1.485 orang luka-luka akibat musibah itu. Selain itu, terdapat 16.082 orang yang mengungsi akibat tsunami tersebut.
loading...
close